I.
LATAR BELAKANG
Dalam era industrialisasi, perselisihan
hubungan industrial menjadi semakin kompleks, untuk penyelesaiannya diperlukan
institusi yang mendukung mekanisme penyelesaian perselisihan yang cepat, tepat,
adil dan murah. UU No. 22 tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan dan UU No. 12 tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di
Perusahaan Swasta sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan dan
kebutuhan tersebut.
Undang-undang
yang baru diperlukan karena beberapa alasan dibawah ini :
Pertama,
Sejak diperlakukannya UU No. 5 tahun
1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, maka putusan P4P yang semula bersifat
final menjadi dapat diajukan gugatan pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara,
yang selanjutnya dapat dimohonkan Kasasi pada Mahkamah Agung. Proses ini
membutuhkan waktu relatif lama dan karenanya tidak sesuai untuk diterapkan
dalam kasus ketenagakerjaan yang memerlukan penyelesaian yang cepat, karena
berkaitan dengan proses produksi dan hubungan kerja.
P4D/P4P selama ini dikenal sebagai
Quasi-Peradilan atau Peradilan Semu. “Quasi” karena institusi ini bukan lembaga
peradilan yang dimaksudkan dalam UU No. 14 tahun 1970 tentang Pokok-pokok
Kekuasaan Kehakiman dan “Peradilan” karena institusi ini mempunyai kewenangan
“Memutus” perkara-perkara dalam hubungan industrial. Dalam kelembagaan P4D/P4P
ini duduk wakil-wakil dari pemerintah, berdasarkan hal itu maka putusannya
kemudian dikategorikan menjadi putusan pejabat tata usaha negara, yang dapat
menjadi obyek Pengadilan Tata Usaha Negara.
Kedua,
Adanya kewenangan Menteri Tenaga Kerja
dan Transmigrasi untuk menunda atau membatalkan putusan P4P atau biasa disebut
Hak Veto Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Hak veto ini dianggap merupakan
campur tangan pemerintah, dan tidak sesuai lagi dengan paradigma yang
berkembang dalam masyarakat, dimana peran pemerintah seharusnya sudah harus
dikurangi.
Ketiga,
UU No. 22 tahun 1957 mengatur bahwa hanya
satu serikat pekerja yang dapat menjadi pihak dalam penyelesaian perselisihan
hubungan industrial. Dengan berlakunya UU No. 21 tahun 2000 tentang Serikat
Pekerja/Serikat Buruh yang dijiwai oleh Konvensi ILO No. 87 tentang Kebebasan
Berserikat dan Perlindungan Hak Berorganisasi, yang telah diratifikasi oleh
Indonesia, maka terbuka kesempatan untuk setiap pekerja/buruh
membentuk/mengikuti organisasi yang disukainya. Saat ini telah banyak serikat
pekerja yang mandiri yang terdaftar menurut UU No. 21 tahun 2000.
Oleh karena itu UU No. 22 tahun 1957
yang mensyaratkan pihak yang berperkara harus satu serikat pekerja/serikat
buruh, menjadi tidak sesuai dengan paradigma baru dibidang hubungan industrial
mengenai kebebasan berserikat dan meningkatkan demokratisasi ditempat kerja.
Menurut UU No. 22 tahun 1957 pekerja/buruh perseorangan hanya dapat
“berperkara” dihadapan pengadilan umum dengan beracara secara perdata.
II.
PRINSIP-PRINSIP YANG DIATUR DALAM UU
No. 2/2004
Pengertian Perselisihan Hubungan
Industrial
Perselisihan Hubungan Industrial ialah
perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau
gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh
karena adanya perselisihan mengenai hak, kepentingan, pemutusan hubungan kerja
serta perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
Bentuk-bentuk Perselisihan Hubungan
Industrial
Berdasarkan Pengertian Perselisihan
tersebut diatas, maka dikenal 4 bentuk perselisihan yaitu :
1.
Perselisihan
Hak,
Yaitu perselisihan yang timbul karena
tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran
terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan
perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
2.
Perselisihan
Kepentingan,
Yaitu perselisihan yang timbul dalam
hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan dan
atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja atau
peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
3.
Perselisihan
Pemutusan Hubungan Kerja,
Yaitu perselisihan yang timbul karena
tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang
dilakukan oleh salah satu pihak.
4.
Perselisihan
Antar Serikat Pekerja/Serikat Buruh,
Yaitu perselisihan antara serikat pekerja/serikat
buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lain dalam satu perusahaan, karena
tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak dan
kewajiban keerikat pekerjaan.
Perundingan Bipartit
Undang-undang ini menekankan pentingnya
penyelesaian oleh para pihak yang berselisih. Penyelesaian oleh para pihak
diharapkan dapat mencapai penyelesaian yang “win-win solution”
Penyelesaian Perselisihan di Luar
Pengadilan Hubungan Industrial
Dalam UU ini penyelesaian perselisihan
dapat dilakukan diluar pengadilan hubungan industrial. Mekanisme ini tentunya
lebih cepat dan dapat memenuhi rasa keadilan para pihak karena penyelesaian
secara suka rela dan berdasarkan musyawarah untuk mencapai mufakat.
Terdapat 4 bentuk penyelesaian yaitu :
1.
Bipartit
2.
Mediasi
3.
Konsiliasi
4.
Arbritase
PROSEDUR PENYELESAIAN PERSELISIHAN
Penyelesaian Secara Bipartit
Penyelesaian secara bipartit wajib
diupayakan terlebih dahulu sebelum para pihak memilih alternatif penyelesaian
yang lain. Hal ini berarti bahwa sebelum pihak atau pihak-pihak yang berselisih
mengundang pihak ketiga untuk menyelesaikan persoalan diantara mereka, maka
harus terlebih dahulu melalui tahapan perundinagn para pihak yang biasa disebut
sebagai pendekatan bipartit.
Penyelesaian melalui bipartit ini harus
diselesaikan paling lama 30 hari kerja sejak tanggal dumulainya perundingan.
Apabila dalam jangka waktu 30 hari, salah satu pihak menolak untuk berunding
atau telah dilakukan perundingan tetapi tidak mencapai kesepakatan maka
perundingan bipartit dianggap gagal.
Apabila dalam perundingan bipartit
berhasil mencapai kesepakatan maka dibuat Perjanjian Bersama (PB) yang mengikat
dan menjadi hukum serta wajib dilaksanakan oleh para pihak. PB ini didaftarkan
pada Pengadilan Hubungan Industrial di wilayah para pihak yang mengadakan
Perjanjian Bersama. Dalam hal Perjanjian Bersama tidak dilaksanakan oelh salah
satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi pada
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah Perjanjian
Bersama didaftar untuk mendapat penetapan eksekusi.
Dalam hal perundingan bipartit tidak
mencapai kesepakatan, maka salah satu atau kedua belah pihak memneritahukan
perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan setempat.
Penyelesaian Melalui Mediasi
Mediator adalah pegawai instansi
pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang memenuhi
syarat-syarat sebagai mediator yang ditetapkan oleh menteri untuk bertugas
melakukan mediasi dan mempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis kepada
para pihak yang berselisih untuk menyelesaiakn perselisihan hak, kepentingan,
pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh
dalam satu perusahaan.
Penyelesaian melalui mediasi wajib
diperuntukkan bagi :
1.
Perselisihan
hak
2.
Perselisihan
kepentingan
3.
Pereselisihan
pemutusan hubungan kerja
4.
Perselisihan
antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan
Dalam waktu selambat-lambatnya 7 hari
kerja setelah menerima permintaan tertulis, mediator harus sudah mengadakan
penelitian tentang duduknya perkara dan segera mengadakan penelitian tentang
duduknya perkara den segera mengadakan sidang mediasi.
Dalam hal tercapai kesepakatan
penmyelesian melalui mediasi, maka dibuat Perjanjian Bersama yang
ditandatangani para pihak dan diketahui oleh mediator dan didaftarkan pada
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah pihak-pihak
mengadakan Perjanjian Bersama.
Dalam hal mediasi tidak mencapai
kesepakatan, maka mediator mengeluarkan anjuran tertulis selambat-lambatnya 10
hari kerja sejak sidang mediasi pertama kepada para pihak. Para pihak harus
memberikan pendapatnya secara tertulis kepada mediator selambat-lambatnya 10
hari kerja sejak menerima anjuran.
Pihak yang tidak memberikan pendapat
dianggap menolak anjuran tertulis.
Dalam hal para pihak menyetujui anjuran
tertulsi dari mediator, dealam waktu selambat-lambatnya 3 hari kerja sejak
anjuaran tertulis disetujui, mediator harus sudah selesai membantu para pihak
membuat Perjanjian Bersama untuk kemudian didaftar di Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah pihak-pihak mengadakan Perjanjian
Bersama.
Apabila anjuran tertulis ditolak oleh
salah satu pihak atau oleh kedua belah pihak, penyelesian perselisihan dilakukan
melalui Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat dengan
mengajukan gugatan oleh salah satu pihak.
Mediator harus menyelesaikan tugasnya
palinglama 30 hari kerja sejak tanggal permintaan penyelesaian
persleisihan.
Penyelesaian Melalui Konsiliasi
Konsiliator adalah seorang atau lebih
yang memenuhi syarat-syarat sebagai konsiliator dan ditunjuk oleh Menteri, yang
bertugas melakukan konsiliasi dan wajib memberikan anjuran tertulis kepada para
pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan kepentingan,
perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
Penyelesaian melalui konsiliasi
diperuntukkan bagi :
1.
Perselisihan
kepentingan
2.
Perselisihan
pemutusan hubungan kerja
3.
Perselisihan
antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
Penyelesaian oleh konsiliator
dilaksanakan setelah para pihak mengajukan permintaan penyelesaian secara
tertulis kepada konsiliator yang ditunjuk dan disepakati para pihak. Dalam
waktu selambat-lambatnya 7 hari kerja konsiliator harus sudah mengadakan
penelitian tentang duduknya perkara dan selambat-lambatnya pada hari kedelapan
harus sudah dilakuakn sidang konsiliasi pertama.
Dalam hal tercapai kesepakatan
penyelesaian melaui konsiliasi, maka dibuat Perjanjian Bersama (PB) yang
ditandatangani para pihak dan diketahui oleh konsiliator serta didaftar di
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah pihak-pihak
mengadakan Perjanjian Bersama.
Dalam hal tidak tercapai kesepakatan
penyelesaian melalui konsiliasi, maka konsiliator mengeluarkan anjuran tertulis
dalam waktu selambat-lambatnya 10 hari kerja sejak sidang konsiliasi pertama
kepada para pihak. Para pihak harus sudah memberikan pendapatnya secara tertulis
kepada konsiliator dalam waktu selambat-lambatnya 10 hari kerja setelah
menerima anjuran tertulis.
Dalam hal para pihak menyetujui anjuran
tertulis, dalam waktu selambat-selambatnya 3 hari kerja sejak anjuarn tertulis
disetujui, konsoliator harus sudah selesai membantu para pihak membuat
Perjanjian Bersama dan didaftar di Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri di wilayah pihak-pihak mengadakan Perjanjian Bersama.
Dalam hal anjuran tertulis ditolak oleh
salah satu pihak atau para pihak, maka penyelesaian dilakukan melalui
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat dengan pengajuan
gugatan oleh salah satu pihak.
Konsiliator menyelesaikan tugasnya
dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari kerja sejak menerima permintaan penyelesaian
perselisihan.
Konsiliator harus terdaftar pada
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dan telah memenuhi
syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
atau pejabat yang berwenang di bidang ketenagakerjaan.
Dalam melaksanakan tugasnya konsiliator
berhak mendapat honorarium/imbalan jasa yang dibebankan kepada negara.
Penyelesaian Melalui Arbritase
Arbriter adalah seorang atau lebih yang
dipilih oleh para pihak yang berselisih dari daftar arbiter yang ditetapkan
oleh Menteri untuk memberikan putusan mengenai perselisihan kepentingan dan
perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan yang
duserahkan penyelesaiannya melalui arbritase yang putusannya mengikat para
pihak dan bersifat final.
Perselisihan yang dapat diselesaikan
melalui arbritase adalah :
1.
Perselisihan
kepentingan, dan
2.
Perselisihan
antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan
Perjanjian Arbritase
Penyelesaian melalui arbritase harus
berdasarkan kesepakatan para pihak yang berselisih yang dituangkan dalam
Perjanjian Arbritase. Perjanjian tersebut memuat antara lain poko-pokok
perselisihan yang diserahkan pada arbiter, jumlah arbiter dan pernyataan para
pihak untuk tundauk dan menjalankan keputusan arbiter.
Pihak-pihak dapat menunjuk arbiter
tunggal tunggal atau beberapa arbiter dalam jumlah gasal sebanyak-banyaknya 3
orang. Arbiter yang ditunjuk haruslah arbiter yang telah ditetapkan oleh
Menteri dan wilayah kerjanya meliputi seluruh negara Republik Indonesia.
Penunjukan Arbiter
Penunjukan arbiter tunggal berdasarkan
kesepakatan para pihak secara tertulis. Apabila para pihak sepakat untuk
menunjuk beberapa arbiter secara tertulis dalam jumlah gasal, masing-masing
pihak berhak memilih seorang arbiter dalam waktu selambat-lambatnya 3 hari
kerja, sedangkan arbiter ketiga ditentukan oleh para arbiter yang ditunjuk
dalam waktu selambat-lambatnya 7 hari kerja untuk diangkat sebagai Ketua
Majelis Arbitrase.
Dalam hal para pihak tidak sepakat
untuk menunjuk arbiter baik tunggal maupun gasal, maka atas permohonan salah
satu pihak, ketua pengadilan dapat menyangkut arbiter dari daftar arbiter yang
ditetapkan Menteri.
Perjanjian Penunjukan Arbiter
Sebelum melaksanakan tugasnya, arbiter
yang telah ditunjuk harus terlebih dahulu membuat Perjanjian Penunjukan Arbiter
denga para pihak. Dalam perjanjian tersebut secara tegas dinyatakan pokok-pokok
yang menjadi perselisihan yang diserahkan kepada arbiter untuk diselesaiakan
dan diambil keputusan dan pernyataan para pihak untuk tunduk dan menjalankan
keputusan arbritase.
Pemeriksaan Perkara
Pemeriksaan oleh arbiter atau majelis
arbiter dilakukan secara tertutup kecuali para pihak yang berselisih
menghendaki lain.
Dalam sidang arbritase, para pihak yang
berselisih dapat diwakili oleh kuasanya dengan “surat kuasa khusu”. Apabila
pada hari sidang para pihak yang berselisih atau kuasanya tanpa suatu alasan
yang syah tidak hadir, walaupun telah dipanggil secara patut, maka arbiter atau
majelis arbiter dapat membatalkan Perjanjian Penunjukan Arbriter dan tugas
arbiter atau majelis arbiter dianggap selesai.
Apabila pada hari sidang pertama dan
sidang-sidang selanjutnya salah satu pihak atau kuasanya tanpa suatu alasan
yang sah tidak hadir walaupun untuk itu telah dipanggil secara patut, arbiter
atau majelis arbiter dapat memeriksa perkara dan menjatuhkan putusannya tanpa
kehadiran salah satu kuasanya.
Tuntutan Ingkar Arbiter
Arbiter yang telah ditunjuk oleh para
pihak berdasarkan perjanjian arbritase dapat diajukan tuntutan ingkar kepada
Pengadilan Negeri apabila :
1.
Cukup
alasan dan cukup bukti otentik yang menimbulkan keraguan bahwa arbiter akan
melakukan tugasnya tidak secara bebas dan akan berpihak dalam mengambil
keputusan.
2.
Terbukti
adanya hubungan kekluargaan atau pekerjaan dengan salah satu pihak atau
kuasanya.
Putusan Pengadilan Negeri tentang
tuntutan ingkar tidak dapat diajukan perlawanan.
Lamanya Penyelesaian Arbritase
Arbiter atau majelis arbiter wajib
menyelesaikan perselisihan hubungan industrial dalam waktu paling lama 30 hari
kerja sejak penandatanganan surat Perjanjian Penunjukan Arbiter dan dapat
diperpanjang selambat-lambatnya 14 hari kerja atas kesepakatan para pihak.
Dalam hal para pihak gagal mencapai
perdamaian, arbiter atau majelis arbiter akan melanjutkan sidang. Para pihak
diberi kesempatan untuk menjelaskan pendirian dan pendapatnya baik secara
tertulis maupun lisan disertai bukti-bukti.
Untuk mendapatkan bahan-bahan yang
diperlukan dalam rangka pemeriksaan perkara, arbiter atau majelis arbiter
berhak meminta kepada para pihak untuk mengajukan penjelasan tuntutan secara
tertulis, atau menyerahkan bukti lainnya.
Putusan Arbiter
Putusan arbiter diambil berdasarkan
hukum, keadilan, kebebasan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
putusan arbiter tersebut bersifat “final dan mengikat para pihak”.
Dalam hal putusan arbitrase tidak
dilaksanakan, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan kepada
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya
meliputi tempat kedudukan pihak terhadap siapa putusan itu harus dijalankan.
Pembatalan Oleh Mahkamah Agung
Meskipun putusan arbiter bersifat tetap
dan final, tetapai apabila putusan arbiter diduga mengandung unsur-unsur yang
merugikan salah satu puhak, atas putusan tersebut dapat diajukan permohonan
pembatalan pada Mahkamah Agung. Tenggang waktu untuk mengajukan Permohonan
Pembatalan paling lama 30 hari kerja sejak tanggal putusan arbitrase.
Permohonan Pembatalan dapat diajukan
apabila dipenuhinya salah satu unsur sebagai berikut :
1.
Surat
atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan setelah putusan dijatuhkan diakui
atau dinyatakan palsu;
2.
Setelah
putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menetukan yang disembunyikan
oleh pihak lawan;
3.
Putusan
diambil berdasarkan tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam
pemeriksaan perselisihan;
4.
Putusan
melampaui kekuasaan arbiter; atau
5.
Putusan
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Dalam hal permohonan dikabulkan,
Mahkamah Agung akan menetapkan akibat dari pembatalan baik seluruhnya maupun
sebagian putusan arbitrase. Mahkamah Agung harus sudah memutuskan permohonan
pembatalan paling lama 30 hari kerja sejak tanggal menerima permohonan.
III.
PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
Pengertian
Pengadilan Hubungan Industrial adalah
pengadilan khusus yang dibentuk dilingkungan Pengadilan Negeri yang berwenang
memeriksa, mengadila dan memberi putusan terhadap perselisihan hubungan
industrial.
Untuk pertama kali dibentuk Pengadilan
Hubungan Industrial pada setiap Pengadilan Nregeri disetiap ibukot Propinsi
yang daerah hukumnya meliputi Propinsi yang bersangkutan.
Yurisdikasi Pengadilan Hubungan
Industrial
Perkara yang dapat ditangani oleh
Pengadilan Hubungan Industrial adalah :
1.
Pada
tingkat pertama Pengadilan Hubungan Industrial :
a.
Perselisihan
hak; dan
b.
Perselisihan
pemutusan hubungan kerja
2.
Pada
tingkat pertama dan terakhir :
a.
Perselisihan
kepentingan; dan
b.
Perselisihan
antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
Susunan Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial
Susunan Pengadilan Hubungan Industrial
terdiri dari :
1.
Hakim;
2.
Hakim
ad-hoc;
3.
Panitera
muda; dan
4.
Panitera
pengganti
Susunan Pengadilan Hubungan Industrial
Pada Mahkamah Agung Terdiri dari :
1.
Hakim
agung;
2.
Hakim
ad-hoc; pada Mahkamah Agung; dan
3.
Panitera.
Pengankatan dan Pemberhentian Hakim
Ad-Hoc
Hakim Pengadilan Hubungan Industrial
pada Pengadilan Negeri diangkat dan diberhentikan berdasarkan keputusan Ketua
Mahkamah Agung.
Untuk pertama kalinya pengankatan hakim
Ad-hoc Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri paling sedikit 5
orang masing-masing dari unsur organisasi pengusaha dan pekerja/buruh.
Hakim ad-hoc berasal dari organisasi
pengusaha dan organisasi pekerja/buruh. Sebelum diusulkan oleh Mahkamah Agung
kepada Presiden harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari Menteri yang
bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan.
Syarat-syarat Hakim Ad-Hoc
1.
Warga
negara Indonesia
2.
Bertaqwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa
3.
Setia
kepada Pancasila dan UUD 1945
4.
Berumur
paling rendah 30 tahun
5.
Berbadan
sehat sesuai dengan keterangan dokter
6.
Berwibawa,
jujur, adil dan berkelakuan tidak tercela
7.
Berpendidikan
serendah-rendahnya S1 kecuali bagi hakim ad-hoc pada Mahkamah Agung
perpendidikan sarjana sarjana hukum; dan
8.
Berpengalaman
dibidang hubungan industrial minimum 5 tahun.
Larangan Merangkap Jabatan
Agar hakim ad-hoc dapat bekerja secara
profesional, maka hakim ad-hoc dilarang merangkap jabatan. Larangan merangkap
jabatan meliputi :
1.
Anggota
Lembaga Tinggi Negara
2.
Kepala
Daerah/Kepala Wilayah
3.
Anggota
lembaga legislatif tingkat daerah
4.
Anggota
TNI/Polri
5.
Pegawai
negeri sipil
6.
Pengurus
partai politik
7.
Pengacara
8.
Mediator
9.
Konsiliator
10.
Arbiter;
dan
11.
Pengurus
SP/SB atau pengurus organisasi pengusaha
Pemberhentian Hakim Ad-Hoc
Hakim ad-hoc bukan hakim karir, dan
oleh karena itu masa jabatan dibatasi yaitu untuk jangka waktu 5 tahun dan
dapat diangkat kembali untuk satu kali masa jabatan.
Disamping dibatasi oleh masa jabatan,
hakim ad-hoc dapat diberhentikan dengan hormat dari jabatannya dengan alasan :
1.
Meninggal
dunia
2.
Permintaan
sendiri
3.
Sakit
jasmani atau rohani terus menerus selama 12 bulan
4.
Telah
berumur 62 tahun bagi hakim ad-hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial dan 67
tahun bagi hakim ad-hoc pada Mahkamah Agung
5.
Tidak
cakap dalam menjalankan tugas
6.
Penggantian
anggota atas permintaan organisasi pengusaha atau organisasi pekerja/buruh yang
mengusulkan
7.
Telah
selesai masa tugasnya.
Hakim ad-hoc dapat pula diberhentikan
secara tidak dengan hormat dari jabatan dengan alasan :
1.
Dipidana
karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan
2.
Terus
menerus selama 3 bulan melalaikan kewajibannya tanpa alasan yang sah
3.
Melanggar
sumpah dan janji
Pengawasan Hakim Ad-Hoc
Ketua Pengadilan Negeri dan Ketua
Mahkamah Agung mengawasi pelaksanaan tugas hakim ad-hoc dan hakim ad-hoc sesuai
dengan kewenangannya.
Pengawasan tidak menghilangkan atau
mengurangi kebebasan hakim ad-hoc dan hakim ad-hoc didalam memeriksa dan
memutus perkara. Pengawasan ditujukan agar hakim ad-hoc dan hakim ad-hoc
bekerja lebih profesional, jujur dan adil. Dalam melakukan pengawasan Ketua
Pengadilan Negeri dan Ketua Mahkamah Agung dapat memberikan teguran dan
petunjuk.
Tidak Ada Upaya Banding Pada Pengadilan
Tinggi
Berbeda dengan perkara perdata dan
perkara pidana, dalam perkara perselisihan hubungan industrial tidak ada upaya
banding. Hal ini dimaksudkan agar perkara perselisihan hubungan industrial akan
cepat memperoleh kekuatan hukum tetap atau final.
Upaya Kasasi Pada Mahkamah Agung
Tidak semua perkara perselisihan
hubungan industrial yang diputus pada pengadilan tingkat pertama dapat diajukan
kasasi pada Mahkamah Agung.
Perkara yang dapat diajukan kasasi pada
Mahkamah Agung adalah sehubungan dengan perselisihan hak dan pemutusan hubungan
kerja. Sedangkan untuk perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan, apabila telah diputus pada
pengadilan tingkat pertama yaitu Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan
Negeri, maka putusannya bersifat “final dan tetap”
Hukum Acara
Hukum acara yang berlaku pada
Pengadilan Hubungan Industrial adalah hukum Acara Perdata yang berlaku pada
pengadilan dalam lingkunagn Peradilan Umum, kecuali yang diatur secara khusus
dalam undang-undang ini.
Sidang Majelis Hakim
Sidang majelis hakim terbuka untuk
umum, kecuali Majelis Hakim dengan pertimbangan tertentu menyatakan sidang
tertutup.
Majelis hakim terdiri atas 1 hakim
sebagai Ketua Majelis dan 2 hakim ad-hoc sebagai Anggota Majelis. Dalam waktu
paling lama 7 hari sejak penetapan Majelis Hakim oleh Ketua Pengadilan Negeri,
Majelis Hakim harus sudah menetapkan tanggal sidang.
Dalam hal pihak penggugat atau kuasanya
setelah dipanggil secara patut tidak datang untuk sidang pertama dan kedua maka
gugatannya dapat dinyatakan gugur oleh Majelis Hakim, tetapi berhak mengajukan
kembali gugatannya. Apabila pihak tergugat atau kuasanya tidak hadir dalam
sidang pertama dan kedua, maka gugatan dapat diterima dan Majelis dapat memutus
perkara berdasarkan bukti yang ada.
Pemanggilan Saksi
Majelis Hakim dapat memanggil saksi
atau saksi ahli untuk hadir guna didengar keterangannya. Setiap orang yang
dipanggil sebagai saksi berkewajiban untuk memenuhi panggilan dan memberikan
kesaksiannya dibawah sumpah.
Disamping berwenang untuk memanggil
saksi dan saksi ahli, Majelis Hakim guna penyelesaian perselisihan berwenang
pula untuk meminta keterangan dari siapapun tanpa syarat termasuk membukakan
buku dan memperlihatkan surat-surat yang diperlukan.
Pengambilan Putusan
Dalam mengambil putusan, Majelis Hakim
mempertimbangkan hukum, perjanjian yang ada, kebiasaan dan rasa keadilan. Dalam
memeriksa perkara perselisihan hubungan industrial Majelis Hakim tidak hanya
mempertimbangkan kebenaran formal tetapi harus pula mempertimbangkan kebenaran
material.
Majelis Hakim berkewajiban
menyelesaikan perselisihan hubungan industrial paling lama 50 hari kerja
terhitung sejak tanggal sidang pertama.
Putusan Majelis Hakim dibacakan dalam
sidang terbuka. Putusan mempunyai kekuatan hukum tetap apabila tidak diajukan
permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung dalam tenggang waktu 14 hari kerja.
Bagi pihak yang hadir pada sidang
ketentuan mengenai tenggang waktu 14 hari kerja terhitung sejak tanggal sidang,
sedangkan bagi pihak yang tidak hadir dihitung sejak tanggal menerima
pemberitahuan putusan.
Permohonan kasasi harus sudah
disampaikan pada Mahkamah Agung paling lama 14 hari kerja sejak tanggal
penerimaan permohonan kasasi.
Penyelesaian Di Tingkat Kasasi
Seperti halnya Majelis Hakim pada
pengadilan tingkat pertama, Majelis Hakim pada Kasasi terdiri satu orang hakim
agung dan dua orang hakim ad-hoc.
Majelis hakim harus sudah memutuskan
perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan kepentingan paling lama
30 hari kerja sejak tanggal penerimaan permohonan kasasi.
IV.
SANKSI ADMINISTRATIF DAN KETENTUAN
PIDANA
Sanksi Administratif
Sanksi administratif meliputi :
1.
Hukuman
disiplin
2.
Teguran
tertulis
3.
Pencabutan
sementara sebagai konsiliator dan arbiter
4.
Pencabutan
tetap sebagai konsiliator dan arbiter.
Hukuman Disiplin
Dapat dikenakan pada mediator dan
panitera muda. Karena keduanya merupakan pegawai negeri sipil, maka sanksi
dikenakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Teguran Tertulis
Dapat dikenakan kepada konsiliator dan
arbiter dengan alasan :
1.
Konsiliator
tidak menyampaikan anjuran tertulis paling lama 14 hari kerja atau tidak
membantu para pihak membuat perjanjian bersama paling lambat 3 hari kerja
2.
Arbiter
tidak dapat menyelesaikan perselisihan hubungan industrial dalam waktu paling
lama 30 hari kerja dan dalam jangka waktu perpanjangan yaitu paling lam 14 hari
kerja atau tidak membuat berita acara kegiatan pemeriksaan.
Pencabutan Sementara
Kepada konsiliator dan arbiter dapat
dikenakan sanksi administrasi berupa pencabutan sementara sebagai konsiliator
dan arbiter dalam hal telah dikenakan sanksi teguran tertulis sebanyak 3 kali
kepada yang bersangkutan. Sanksi pencabutan sementara paling lama 3 bulan.
Pencabutan Tetap
Kepada konsiliator dan arbiter dapat
dikenakan sanksi administrasi berupa pencabutan tetap sebagai konsiliator dan
arbiter dalam hal :
1.
Konsiliator
telah dikenakan sanksi pencabutan sementara sebanyak 3 kali terbukti melakukan
tindak pidana dan telah menyalahgunakan jabatan
2.
Arbiter
paling sedikit 3 kali mengambil putusan arbitrase yang melampaui kekuasaannya
dan atas putusan tersebut Mahkamah Agung telah mengabulkan permohonan
peninjauan kembali, telah terbukti melakukan tindak pidana dan menyalahgunakan
jabatannya atau arbiter telah dikenakan sanksi pencabutan sementara sebanyak 3
kali.
Ketentuan Pidana
Barang siapa yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 ayat 1, pasal 22 ayat 1 dan ayat 3, pasal
47 ayat 1 dan ayat 3, pasal 90 ayat 2, pasal 91 ayat 1 dan ayat 3 dikenakan
sanksi :
1.
Pidana
kurungan paling singkat satu bulan dan paling lambat 6 bulan; dan/atau
2.
Denda
paling sedikit Rp. 10.000.000; dan paling banyak Rp. 50.000.000;
Tidak ada komentar:
Posting Komentar