Mengetahui Kebaikan Dan
Dosa
Artinya:
Dari An-Nawwas bin Sam'an radiallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi Wasallam, Beliau bersabda: "Kebaikan adalah akhlak yang baik sedangkan dosa adalah apa yang terlintas di jiwamu tetapi kamu benci/takut diketahui oleh orang lain", diriwayatkan oleh Imam Muslim.
Takhrij hadits secara global
Hadits
ini diriwayatkan oleh Imam Muslim ; hadits no. 2553, Imam Ahmad ; 4/182,
At-Turmuzi ; hadits no. 2389, Ad-Darimi ; 2/322, Imam Bukhari dalam kitabnya
"Al-Adab Al-Mufrad" ; hal. 295, 302 . Hadits ini ditashhih oleh Ibnu
Hibban; Shahih Ibn Hibban, hal. 397.
Nabi
Shallallahu 'alaihi Wasallam menginformasikan kepada kita bahwa kebaikan adalah
merupakan bagian dari akhlak yang baik yang dapat diketahui melalui hati nurani
kita sebagaimana dijelaskan dalam riwayat yang lain dimana Nabi Shallallahu
'alaihi Wasallam menyarankan kepada kita agar kita minta 'fatwa' kepada hati
nurani kita ketika terjadi perkara yang samar-samar karena sesungguhnya kebaikan
itu adalah kebalikan dari dosa tersebut yaitu apa yang membuat jiwa/hati nurani
tenang dan tentram kepadanya. Artinya apabila jiwa/hati nurani kita tidak
menolaknya begitu pertama kali ingin kita lakukan dan tidak ragu-ragu atau
merasa takut untuk diketahui oleh orang lain alias tidak sembunyi-sembunyi
melakukannya maka itu merupakan tanda bahwa hal tersebut adalah baik. Begitu
pula sebaliknya, apabila begitu pertama kali ingin kita lakukan terasa was-was
dan kita dalam melakukannya, takut diketahui oleh orang lain atau timbul
keraguan untuk melakukannya (seperti dalam riwayat yang lain) maka itu pertanda
bahwa apa yang kita akan lakukan itu adalah dosa.
Makna
"al-Birr" dan karakteristiknya
Hadits-Hadits
yang membicarakan hal ini sebagiannya mengandung penafsiran terhadap makna
"al-Birr" (Kebaikan) dan "al-Itsm" (Dosa) dan
sebagian yang lain mengandung penafsiran terhadap makna halal dan haram.
Terjadinya perbedaan interpretasi terhadap makna "al-Birr" karena ia
sering diucapkan dalam dua konteks tertentu; Pertama, dalam
konteks bermuamalat kepada makhluk yang dimaksudkan sebagai berbuat kebaikan
kepada mereka. Terkadang pemakaiannya (kata "al-Birr") hanya khusus
dipakai dalam arti berbuat baik kepada kedua orang tua maka dikatakan " " (berbuat baik kepada kedua orang tua)
tetapi lebih banyak dipakai dalam konteks berbuat baik kepada makhluk secara
umum, oleh karenanya banyak ulama dalam kitabnya menyajikan bab/kitab
tersendiri yang dinamai " " dimana terdapat pembahasan
tentang dan berbuat baik kepada makhluk secara
umum. Sahabat Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma berkata : "Kebaikan adalah
sesuatu yang enteng/ringan yaitu wajah yang ceria dan ucapan yang lembut".
Kata "al-Birr" apabila dikaitkan dengan "taqwa" sebagaimana
dalam ayat :
maka terkadang maksud dari "al-Birr" adalah bermuamalat dengan makhluk secara baik dan "at-Taqwa" adalah bermuamalat dengan Allah yaitu dengan melakukan ketaatan kepadaNya dan menjauhi hal-hal yang diharamkan olehNya, terkadang pula arti dari "al-Birr" tersebut adalah melakukan kewajiban-kewajiban dan arti "at-Taqwa" adalah menjauhi hal-hal yang diharamkan. Sedangkan arti dosa, sebagaimana dalam ayat :
terkadang yang dimaksud dengan "al-Itsm" adalah perbuatan-perbuatan maksiat dan "al-'udwan" adalah menzalimi makhluk, dan terkadang yang dimaksud dengan "al-Itsm" adalah sesuatu yang esensinya memang diharamkan seperti zina, mencuri dan minum khamar (bir), dan yang dimaksud dengan "al-'Udwan" adalah melampaui batas sesuatu yang memang diizinkan (secara syar'i) sebelumnya sehingga menjadi dilarang seperti mengambil zakat yang dikeluarkan oleh para wajib zakat melebihi ukuran yang diwajibkan kepada mereka, melampaui cambukan yang diperintahkan oleh syara' dalam masalah hudud, dll. Kedua, Yang dimaksud dengan "al-Birr" adalah mengerjakan semua ketaatan baik yang zhahir maupun yang bathin sebagaimana dalam surat al-Baqarah ayat 177. Berkaitan dengan ayat 177 surat al-Baqarah; maka makna "al-Birr" mencakup seluruh ketaatan yang bathin seperti beriman kepada Allah, MalaekatNya, Kitab-Kitab dan Para RasulNya, begitu juga ketaatan yang zhahir seperti menginfakkan harta ke jalan yang diridhai oleh Allah, mendirikan shalat, membayar zakat, menepati janji, sabar terhadap taqdir seperti kemiskinan dan penyakit, dst. Dalam pada itu, bisa jadi arti "husnul khuluq" adalah berakhlak dengan akhlak syari'at secara keseluruhan dan bertata krama dengan tata krama yang telah diajarkan oleh Allah kepada hambaNya, sebagaimana tersurat dalam firmanNya:
[Q.S. Al-Qalam : 2].
maka terkadang maksud dari "al-Birr" adalah bermuamalat dengan makhluk secara baik dan "at-Taqwa" adalah bermuamalat dengan Allah yaitu dengan melakukan ketaatan kepadaNya dan menjauhi hal-hal yang diharamkan olehNya, terkadang pula arti dari "al-Birr" tersebut adalah melakukan kewajiban-kewajiban dan arti "at-Taqwa" adalah menjauhi hal-hal yang diharamkan. Sedangkan arti dosa, sebagaimana dalam ayat :
terkadang yang dimaksud dengan "al-Itsm" adalah perbuatan-perbuatan maksiat dan "al-'udwan" adalah menzalimi makhluk, dan terkadang yang dimaksud dengan "al-Itsm" adalah sesuatu yang esensinya memang diharamkan seperti zina, mencuri dan minum khamar (bir), dan yang dimaksud dengan "al-'Udwan" adalah melampaui batas sesuatu yang memang diizinkan (secara syar'i) sebelumnya sehingga menjadi dilarang seperti mengambil zakat yang dikeluarkan oleh para wajib zakat melebihi ukuran yang diwajibkan kepada mereka, melampaui cambukan yang diperintahkan oleh syara' dalam masalah hudud, dll. Kedua, Yang dimaksud dengan "al-Birr" adalah mengerjakan semua ketaatan baik yang zhahir maupun yang bathin sebagaimana dalam surat al-Baqarah ayat 177. Berkaitan dengan ayat 177 surat al-Baqarah; maka makna "al-Birr" mencakup seluruh ketaatan yang bathin seperti beriman kepada Allah, MalaekatNya, Kitab-Kitab dan Para RasulNya, begitu juga ketaatan yang zhahir seperti menginfakkan harta ke jalan yang diridhai oleh Allah, mendirikan shalat, membayar zakat, menepati janji, sabar terhadap taqdir seperti kemiskinan dan penyakit, dst. Dalam pada itu, bisa jadi arti "husnul khuluq" adalah berakhlak dengan akhlak syari'at secara keseluruhan dan bertata krama dengan tata krama yang telah diajarkan oleh Allah kepada hambaNya, sebagaimana tersurat dalam firmanNya:
[Q.S. Al-Qalam : 2].
Aisyah
radhiallahu 'anha berkata : "akhlak Rasul Shallallahu 'alaihi Wasallam
Al-Quran". Maksudnya menurut Syaikh Ibnu Rajab, bahwa Beliau Shallallahu
'alaihi Wasallam beradab dengan adabNya karenanya beliau menjalankan seluruh
perintahNya dan menjauhi seluruh laranganNya maka dengan demikian mengamalkan
Al-Quran sudah menjadi akhlak beliau seperti hal nya sifat alami yang begitu
melekat dan tidak terpisahkan lagi dan inilah akhlak yang paling baik, paling
mulia dan paling indah. Karena itu pula dikatakan bahwa agama seluruh ajarannya
adalah akhlak.
Tidak
jauh dari penfsiran "al-Birr" , sebagaimana dalam riwayat yang lain,
disebutkan bahwa "al-Birr adalah apa yang membuat hati dan jiwa tenteram
kepadanya", atau "apa yang membuat dada lapang" maka kata
"al-Halal" juga ditafsirkan demikian. Hal ini menunjukkan bahwa Allah
telah memfitrahkan kepada manusia untuk mengetahui kebenaran, membuat hati
tenang dan menerimanya, serta menjadikan tabiat selalu mencintainya dan
menjauhi lawannya/hal yang bertentangan dengannya.
Termasuk
dalam makna riwayat-riwayat hadits diatas, makna hadits qudsi yang menyatakan
bahwa Allah menciptakan hamba-hambaNya sebagai orang-orang yang hunafa' (lurus)
dan muslimin (berserah diri kepadaNya) namun syaithanlah yang melencengkannya
dengan mengharamkan apa yang Allah halalkan kepada mereka, dan mengajak mereka
untuk berbuat syirik kepadaNya, begitu juga makna hadits yang amat
populer yang berbunyi: " Tiap-Tiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah
maka kedua orang tuanyalah yang meyahudikannya atau menasranikannya atau
memajusikannya … " dan ayat 30 surat ar-Rum. Oleh karenanya, Allah menamai
apa yang diperintahkanNya sebagai "ma'ruf" dan apa yang dilarangNya
sebagai "munkar".
Berkaitan
dengan hal itu juga, sahabat Mu'az bin Jabal mengingatkan agar kita tidak
terpasung oleh kepiawaian seorang penguasa dalam berkelit karena terkadang
syaithan menyatakan kesesatan melalui lisan sang penguasa tersebut, dan terkadang
seorang Munafiq bisa berkata dengan perkataan yang benar. Dan ketika dia
(Mu'az) ditanyai kenapa bisa demikian ?, dia meminta agar kita menjauhi
perkataan seorang penguasa yang amat populer (dalam berkelit) "bukan
begini (sebenarnya)?", dan agar perkataan semacam itu tidak membuat kita
tergoda/terpasung untuk menerima kebenaran yang kita dengar sebab kebenaran itu
memiliki cahaya. Ucapan Mu'az bin Jabal ini menunjukkan bahwa seorang Mukmin
tidak akan bisa dikelabui dalam membedakan antara hak dan bathil tetapi ia bisa
mengetahui kebenaran itu melalui cahaya yang ada padanya (kebenaran tersebut)
sehingga hatinya menerimanya dan menghindari kebathilan dengan mengingkari dan
tidak ingin mengenalnya. Makna inilah yang terdapat dalam hadits Nabi Shallallahu
'alaihi Wasallam : "akan datang pada akhir zaman suatu kaum yang berbicara
kepada kamu tentang sesuatu yang tidak pernah kamu dan nenek moyang kamu
denganr (sebelumnya) maka berhati-hatilah kamu dari mereka ". Artinya
bahwa mereka membawa sesuatu yang diingkari/ditolak oleh hati orang-orang yang
beriman dan tidak mengenalnya.
Makna
"al-Itsm" dan karakteristiknya
Sementara
itu, sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam : "dosa adalah apa yang
terdetik didalam dada/hati sedangkan kamu benci/takut diketahui oleh orang
lain"(sebagaimana dalam penggalan kedua dalam makna hadits diatas),
mengisyaratkan bahwa pengaruh dosa terhadap jiwa/dada sangat besar sekali yaitu
adanya rasa sesak, cemas, gundah gulana sehingga dada tidak merasa lega/lapang
untuk menerimanya, disamping hal itu sangat ditolak/diingkari oleh orang banyak
dimana mereka akan langsung mengingkarinya begitu mengetahuinya.
Dalam
mengidentifikasi karakteristik dosa yang dalam kondisi yang samar-samar
terdapat tingkatan-tingkatan, diantaranya ;
-
Mengetahui hal itu dari reaksi yang ditimbulkan oleh orang banyak yaitu
pengingkaran/penolakan mereka terhadap pelakunya atau bukan pelakunya dan ini
merupakan tingkatan paling tinggi. Senada dengan hal ini adalah ucapan Sahabat
Ibnu Mas'ud yang amat populer: "Apa yang dipandang oleh orang-orang
mukminin baik maka hal itu adalah baik disisi Allah, dan apa yang mereka
pandang jelek maka hal itu adalah jelek disisi Allah ".
-
Sangsi terhadap apa yang difatwakan/masukan dari orang lain (yang menganggap/memandang
hal itu adalah bukan dosa) dan ciri/caranya adalah dangan mengetahui
bahwa sesuatu (perbuatan) itu sangat diingkari oleh pelakunya tetapi tidak
diingkari oleh orang lain (dianggap biasa). Makna inilah yang terdapat dalam
lafazh riwayat yang lain; " (meskipun kamu diberi fatwa/masukan oleh
orang lain). Kondisi ini bisa terjadi bila orang yang diberi fatwa/masukan itu
adalah orang yang dilapangkan dadanya oleh Allah dengan iman sedangkan orang
yang memberikan fatwa/masukan itu sekedar menduga-duga atau mengikuti hawa
nafsunya tanpa dilandasi dalil syar'i, akan tetapi bila yang difatwakan/masukan
itu berdasarkan dalil syat'i, maka dia (orang yang diberi fatwa/masukan) wajib
merujuknya/meresponsnya meskipun dada/hatinya belum terbuka untuk menerimanya
seperti perihal rukhshah yang disyari'atkan; semisal berbuka puasa ketika dalam
keadaan bepergian, sakit, mengqashar shalat, dll yang bagi orang-orang yang jahil
tidak terbuka hatinya untuk menerima itu, maka hal ini (pengingkaran mereka)
tidak bisa dijadikan 'ibrah (dalil/alasan). Dan hal semacam ini pernah dialami
oleh para sahabat contohnya perintah Beliau Shallallahu 'alaihi Wasallam pada
waktu haji agar mereka melakukan haji tamattu' atau ketika perjanjian
Hudaibiyah. Ketika itu mereka sempat mengingkarinya karena hati mereka
menolaknya.
Masalah
Ilham
Persoalan
merujuk kepada hati nurani dalam menghadapi hal yang masih samar sebagaimana
hadits diatas berimplikasi kepada masalah ilham yang sering diperbincangkan
oleh para Fuqaha Syafi'iyah dan Hanafiyah yang menganut aliran kalam dalam
Ushul Fiqh; apakah ilham tersebut hujjah atau bukan dalam pengambilan hukum
syar'i ?. Dalam masalah ini banyak sekali pendapat-pendapat khususnya di
kalangan kaum Sufi dan Ahli Kalam yang semuanya tidak berdasarkan kepada dalil
syar'i . Karenanya Imam Ahmad mengecam hal itu dan beliau menganjurkan agar
merujuk kepada hati nurani dalam menghadapi hal yang masih samar tersebut bila
hal itu berdasarkan dalil syar'i sebab nash-nash nabawi yang menganjurkan hal
itu sangat jelas. Artinya kecamannya terhadap kaum Sufi dan Ahli Kalam bukan
atas perbuatan merujuk hati nurani tetapi atas kebiasaan mereka seperti itu
yang dilakukan tanpa dalil syar'i .
Dalam
ilmu hadits, kacamata ini (ilham) dipakai oleh Ulama Hadits yang benar-benar
menggeluti dan mengusainya (an-Naqqad) . Hal itu mereka lakukan dalam menilai
keadaan para perawi dan para pemberita dan sifat-sifat mereka seperti kejujuran
dan kebohongan mereka, kekuatan daya hafal dan kedhabitan mereka, tetapi
orang-orang seperti ini sangat langka sekali. Diantara Ulama Hadits yang
dianggap memiliki cara dan naluri seperti ini (ilham) adalah Imam Abu Zur'ah,
Abu Hatim ar-Razi, Abdurrahman bin Mahdi, an-Nasai, al-'Uqaili, Ibnu 'Adi dan
ad-Daruquthni.
Intisari
Hadits
Dalam
hadits diatas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
o
Kebaikan
adalah akhlak yang baik dan dosa adalah apa yang terdetik di dalam hati/jiwa
sedangkan pelakunya takut/benci diketahui oleh orang lain.
o
Dalam
menghadapi hal yang masih samar dan meragukan, kita dianjurkan untuk
merujuk/meminta "fatwa" hati nurani dan hal ini bagi orang Mukmin
yang dilapangkan hati/dadanya oleh Allah sangat mudah dilakukan olehnya sehingga
mereka jarang terkelabui dalam membedakan antara hak dan bathil.
o
Makna
"al-Birr" sangat luas cakupannya begitu juga makna
"al-Itsm" dan masing-masing sudah memiliki karakteristik tersendiri
yang dapat diidentifikasi.
o
Hanya
orang-orang yang dilapangkan dadanya oleh Allah lah yang dapat melihat suatu
kebenaran dengan ilham yang berdasarkan kepada dalil syar'i seperti yang
dilakukan Ulama Hadits Pilihan (an-Naqqad).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar